DPR Boros Bikin Undang-undang, Mutu Makin Bagus?
VIVAnews - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai Dewan Perwakilan Rakyat telah melakukan pemborosan dengan mengalokasikan anggaran pembahasan satu Rancangan Undang-undang (RUU) hingga Rp20 miliar, salah satunya RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
"Padahal pembahasan RUU APBN ini hanya membagi-bagi kapling yang ada dalam program atau anggaran kementerian/lembaga kepada anggota DPR yang mau," kata Koordinator Fitra Uchok Sky Khadafi saat jumpa pers di kantornya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Minggu 30 Desember 2012.
Uchok menjelaskan, anggaran Rp20 miliar untuk RUU APBN kebanyakan dialokasikan untuk kegiatan rapat di hotel-hotel berbintang. "Rapat-rapat banyak dilakukan bersama badan anggaran DPR dengan biaya sampai Rp1,7 miliar. Untuk pencetakan, penjilidan, panja, tim perumus, itu sampai Rp1,2 miliar," ujarnya.
Selain itu, Uchok juga menilai ada pemborosan pada pembahasan RUU lain. Ia mencontohkan, pada RUU yang berkaitan dengan Kementerian Keuangan, DPR telah mengalokasikan anggaran RUU Dana Pensiun Rp819 juta, RUU bidang Pembiayaan dan Penjaminan sebesar Rp1,1 miliar, RUU tentang Usaha Penjaminan Rp521 juta, RUU Pasar Modal Rp1,2 miliar, RUU bidang Pembiayaan dan Penjaminan Rp4,1 miliar, dan RUU Lelang sebesar Rp2,6 miliar.
Sedangkan yang berhubungan dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, terdapat anggaran pembahasan RUU tentang Penyempurnaan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebesar Rp1 miliar. Serta di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata terkait RUU Kebudayaan sebesar Rp1,5 miliar.
"Jadi adanya alokasi anggaran untuk sebuah RUU di pemerintah menandakan ada indikasi dobel anggaran untuk sebuah RUU. Karena ada alokasi anggaran RUU di DPR dan juga di pemerintah," kayanya.
Terus meningkat
Anggaran penyusunan RUU di DPR ini terus meningkat tiap tahun. Menurut Uchok, dari 2011 ke 2012 ada kenaikan hingga Rp1,9 miliar untuk harga satu RUU, baik yang usulan DPR maupun pemerintah.
Mengenai alokasi anggaran yang terus meningkat, menurut Ucok, DPR selalu berdalih tidak akan terpakai seluruhnya. "Ini justru memperlihatkan DPR menghamburkan-hamburkan anggaran," kata ucok.
Apalagi, dari target tahun ini sebanyak 69 RUU, ternyata hanya 30 RUU yang sah menjadi undang-undang.
Uchok mencontohkan, dana yang dikeluarkan untuk pembahasan RUU usulan komisi I DPR pada 2011 sebesar Rp8,1 miliar. Pada 2012 menjadi sebesar Rp9 miliar.
Kemudian, pembahasan RUU di komisi II DPR pun mengalami kenaikan, pada 2011 menghabiskan dana sebesar Rp7,8 miliar, naik menjadi Rp9 miliar pada 2012. Begitu pula pada komisi III DPR, pada 2011 sebesar Rp8,1 miliar menjadi Rp9 miliar.
Lebih lanjut Uchok memaparkan, ada kenaikan "harga" untuk RUU usulan pemerintah. Misalnya, pada Komisi VI memiliki bandrol harga sebesar Rp4,6 miliar untuk 2011, kemuadian menjadi sebesar Rp6,5 miliar pada 2012. Komisi II pada 2011 membandrol harga sebuah RUU sebesar Rp4,8 miliar, lalu pada 2012 menjadi Rp6,5 miliar.
"Hal ini memperlihatkan bahwa harga untuk sebuah draf RUU saja begitu mahal hingga miliaran rupiah dan dasar perhitungannya pun di luar akal sehat," kata Uchok.
Wakil Ketua Komis I DPR, Tubagus Hasanuddin, menyatakan tak tahu urusan anggaran pembahasan RUU itu. "Kami hanya membuat program kegiatan seperti target RUU dan rencana kunjungan kerja. Semua program itu dicatat dan diserahkan kepada kesekretariatan yang mengatur pelaksanaan dan anggaran," kata politisi PDI Perjuangan ini saat dihubungi VIVAnews. "Jadi, kami tak membahas biaya."
Sementara itu, Sekretaris Jenderal DPR, Nining Indra Saleh, belum bisa dihubungi untuk dimintai konfirmasi mengenai ini.
Mutu Turun
Mahalnya biaya membuat undang-undang di Indonesia ternyata tidak seiring dengan kualitasnya. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, beberapa hari lalu melansir data, selama tahun 2012, sudah 169 perkara pengujian undang-undang yang masuk ke lembaganya. Dari jumlah tersebut, 97 perkara sudah diputus dan 30 perkara diantaranya dikabulkan oleh MK.
Mahfud menilai, banyaknya pengujian undang-undang yang dikabulkan menandakan bahwa kualitas undang-undang menurun. "Undang-undang yang bermasalah naik 29 persen," kata Mahfud di Jakarta, Rabu, 26 Desember 2012.
Dewan Perwakilan Rakyat terlalu ambisius dalam penyusunan undang-undang. Padahal, menurutnya, DPR tidak mungkin dapat menyusun 70 undang-undang dalam satu tahun.
Dia menduga penyebab mundurnya kualitas undang-undang karena adanya jual beli isi undang-undang di DPR. "Mereka dengan sengaja melakukan kesepakatan politik yang tidak sesuai konstitusi," ujarnya.
Penurunan kualitas undang-undang, kata Mahfud, juga disebabkan karena anggota DPR tdak mempunyai konsep Program Legislasi Nasional (Prolegnas). "Tidak ditanya dulu urgensinya apa. Bisa jadi juga karena kecerobohan, kesengajaan, asal-asalan, dan tidak profesional," kata Mahfud.